Upacara Adat Cing-Cing Goling, Kisah Pelarian Kerabat Majapahit

photo by: radarjogja
"Cing-cing Goling", berasal dari menyingsingkan atau dalam bahasa Jawa "Cincing", dan "Goling" merupakan arti dari goyah iman karena dampak dari "cincing".
  
     Upacara adat cing-cing goling merupakan sebuah acara adat yang telah dilaksanakan sejak abad ke-15, di desa Gedangrejo, Karangmojo, Gunungkidul. Upacara Cing-cing Goling ini dilakukan setiap tahunnya pada bulan Agustus. Dalam pelaksanaan upacara adat ini, dilakukan siang hari setelah Dhuhur, dengan diawali pasukan Bergada dari desa Gedangrejo. Pelaksaan upacara adat Cing-cing Goling juga sebagai perwujudan rasa syukur dan media shodaqoh masyarakat Gedangrejo kepada masyarakat yang menyaksikan acara ini. Masyarakat Gedangrejo membuat ingkung dan umborampenya yang nantinya dimakan bersama-sama. Ada juga sesaji "panjang ilang" yang berisi hasil bumi yang juga diperebutkan oleh penonton Upacara Cing-cing Goling.
     Cing-cing Goling menceritakan tentang pelarian kerabat Majapahit yakni Raden Wisang Sanjaya beserta istri, Tropoyo dan Yudhopati. Dalam pelariannya, istri dari Raden Wisang Sanjaya dikejar-kejar oleh sekelompok brandalan. Karena menggunakan "Jarit" dan susah untuk berlari, akhirnya istri Wisang Sanjaya menyingsingkan jaritnya, atau dalam bahasa Jawa disebut "Cincing". Betis dari istri Raden Wisang Sanjaya yang terlihat kemudian menyebabkan sekelompok brandalan menjadi goyah imannya yang dalam bahasa Jawa disebut "Goling". Dari cerita iniah kemudian menjadi "Cincing Goling" atau yang sekarang disebut "Cing-cing Goling".
     Pada akhirnya, Raden Wisang Sanjaya dapat menyelamatkan istrinya dari sekelompok berandalan yang menginginkannya. Dalam pelariannya, kemudian Raden Wisang Sanjaya, istri, Tropoyo dan juga Yudhopati sampai di desa Gedangrejo Karangmojo. Di Gedangrejo, kedatangan Raden Wisang Sanjaya disambut dengan baik, dan diperhatikan oleh masyarakat Gedangrejo. Raden Wisang Sanjaya diberikan tempat tinggal dan  juga kebutuhan hidup.
Photo by : harygraphy on IG: @gkstory.official
     Sebagai rasa terima kasih kepada masyarakat Gedangrejo, kemudian Raden Wisang Sanjaya membuat sebuah bendungan agar dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah. Dulunya, pengairan sawah di desa Gedangrejo sendiri hanya memanfaatkan air hujan, sehingga hasil panen kurang maksimal. Bendungan yang dibuat oleh Raden Wisang Sanjaya ini dinamakan Bendungan Kedhung Dawang. Dengan adanya bendungan Kedhung Dawang, hasil panen menjadi lebih banyak. Biasanya dalam setahun hanya bisa 2 kali panen, semenjak adanya bendungan Kedhung Dawang bisa menjadi 3 kali panen. 
bendungan Kedhung Dhawang
    Bendungan Kedhung Dawang sampai saat ini masih dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Gedangrejo untuk mengairi sawah bahkan di musim kemarau. Untuk kembali mengenang jasa Raden Wisang Sanjaya, semenjak abad 15, masyarakat Gedangrejo kemudian membuat sebuah upacara adat yang menggambarkan kisah pelarian istri Raden Wisang Sanjaya yang dikejar oleh berandalan, yang kemudian disebut dengan "Upacara Adat Cing-cing Goling". Para pemeran upacara adat berlari-lari bahkan menginjak area perkebunan dan sawah milik masyarakat. Meskipun tanamannya diinjak-injak, pemilik lahan tidak marah, karena tanaman yang terinjak oleh pemeran Cing-cing Goling tidak akan mati, namun akan tambah subur. Untuk menjaga martabat wanita, dalam Upacara adat Cing-cing Goling, pemeran istri Raden Wisang Sanjaya diperankan oleh laki-laki.
     Di akhir upacara, masyarakat yang menyaksikan upacara Cing-cing Goling kemudian ngalap berkah dengan makan bersama kenduri atau berkat shodaqoh dari masyarakat Gedangrejo. Uniknya, dalam masakan yang disajikan dalam Upacara Adat Cing-Cing Goling, tidak boleh ada masakan 'Tempe' dalam bentuk apapun. Alasannya? akan kita bahas di artikel selanjutnya. 

     Upacara adat Cing-cing Goling sebagai warisan budaya di Gedangrejo, Karangmojo, Gunungkidul, DIY harus terus dilestarikan. Setidaknya, sebagai generasi muda harus tau tentang budaya di daerah masing-masing, dan semoga suatu saat nanti dapat membantu "nguri-uri" budaya yang sudah dilestarikan oleh nenek moyang sejak ratusan tahun silam. Tidak ada yang salah dalam upacara adat, dalam upacara adat tidak ada menyembah jin atau sebagainya. Sesaji yang ada diwujudkan sebagai sedekah agar keseimbangan kehidupan tetap berlangsung. Upacara adat mengajarkan sedekah, dan tetap menyukuri nikmat pemberian Tuhan dengan berbagi kepada sesama. 
Jangan kemudian memberi label syirik pada budaya yang sudah dijaga sejak lama. Jika tidak dapat berkontribusi, setidaknya jangan membuat luntur budaya kami.


Share:

2 comments

  1. keren ini, kamu ikut cincingan gak nik

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebetulan tahun ini enggak ikut karena lagi berhalangan pak, cewek yg berhalangan g boleh ikut, lupa g tak tulis, hha, makanya fotonya pinjem punya orang

      Delete